Dihamiki massa
"Iya, aku yang nyolong mukena sama sendal bagusnya. disuruh ibuk buat beli beras" jawab anak perempuan itu tertunduk, ditengah kerumuman orang-orang dewasa yang geram. di sebuah masjid. Yang disambut sumpah serapah.
"Elu juga kan yang nyolong sepeda di kontrakan gue, waktu ujan magrib dulu itu?" Bentak seorang ibu yang baru saja melayangkan tamparan keras ke pipi anak itu. Darah segar mengucur dari bibirnya.
Bayangan anak ku Fara berkelebat. Fara mungkin seusia dengan anak perempuan yang tengah menggigil ketakutan itu.
Tanpa pikir panjang, aku maju. Berdiri pada pihak anak kecil yang katanya, MALING. beberapa lelaki dan perempuan dewasa mengikuti langkah ku. rupanya, masih ada empati dihati mereka. hanya saja, tidak semua orang berani menentang massa. Akal sehat ku menetang aksi pencurian, aku tau rasanya kehilangan. terlebih lagi itu barang masjid-rumah Allah. Tapi aku juga marah melihat seorang manusia diperlakukan tidak manusiawi.
Massa menuduh ku bersekongkol dan melindungi maling. Mereka bilang, harus ada efek jera. Dengan dipukuli ramai-ramai. Sampai mati kalau perlu.
"Ok baik. Kita hakimi dia sekarang. disini, dirumah Allah. tapi, saya minta, yang pertama melakukannya, adalah orang yang seumur hidupnya tidak pernah melakukan kesalahan!" tangisku pecah mengucapkan itu.
Aku berhasil menggandeng anak itu keluar dari kemununan massa yang beringas. Menuju motor yang ku parkir di apotek yang tengah menukarkan uang kembalian obat batuk, amanah mama.
Ku perhatikan anak itu. Dekil, kurus, bau airmatanya berlinang, bibirnya berdarah dan sorot matanya yang redup menyiratkan bahwa ia lapar. Mata itu, terus menatap pada satu sudut. Seorang ibu memakai daster dan jilbab lusuh yang duduk dibawah pohon dengan gerobaknya, tidak jauh dari kami. Laras -nama anak perempuan itu, mengakui sebagai ibunya.
Aku mengajak laras ke rumah makan tidak jauh dari sana. Ibunya datang tidak lama. Kami makan bertiga, diiringi tatapan pemilik warung, sahabatku. melihat ibu dan anak itu lahap, sanggup membuatku menutup rapat lisan ini. Untuk tidak bertanya, sabagaimanapun ingin hati melakukannya.
"Laras... Ibu..." Kataku, tenggorokanku terasa tercekik.
"Klo masalahnya cuma lapar, Laras dan Ibu bisa datang ke sini. makan disini sekenyang-kenyangnya. tidak perlu bayar" sambungku setelah mengatur nafas.
Kemudian ibunya bertutur bahwa dia janda. suaminya jatuh dari atap sewaktu menjadi kuli bangunan. sebetulnya Laras punya adik, yang lahir tidak lama setelah bapaknya wafat. tapi bayi itu dia serahkan ke tukang kopi di kampungnya. Sehari-hari, mereka tinggal di gerobak. Mereka memulung untuk dapat bertahan hidup. musim hujan ini, tidak banyak yang bisa dijual. karena basah. hasil memulung dihargai tidak sampai dua ribu rupiah perkilo. Laras tidak sekolah.
Sakit ku mendengarnya... Aku pernah berada pada posisi Laras. Ibuku nembesarkan dan mengantarkan ketiga anak perempuannya menjadi "orang", Sendiri.
Sejatinya, poligami menitik beratkan pada perlindungan terhadap yatim piatu dan janda yang butuh perlindungan. Bukan nafsu semata.
Bekasi, dipenghujung tahun, pada suatu pagi yang teduh.
"Elu juga kan yang nyolong sepeda di kontrakan gue, waktu ujan magrib dulu itu?" Bentak seorang ibu yang baru saja melayangkan tamparan keras ke pipi anak itu. Darah segar mengucur dari bibirnya.
Bayangan anak ku Fara berkelebat. Fara mungkin seusia dengan anak perempuan yang tengah menggigil ketakutan itu.
Tanpa pikir panjang, aku maju. Berdiri pada pihak anak kecil yang katanya, MALING. beberapa lelaki dan perempuan dewasa mengikuti langkah ku. rupanya, masih ada empati dihati mereka. hanya saja, tidak semua orang berani menentang massa. Akal sehat ku menetang aksi pencurian, aku tau rasanya kehilangan. terlebih lagi itu barang masjid-rumah Allah. Tapi aku juga marah melihat seorang manusia diperlakukan tidak manusiawi.
Massa menuduh ku bersekongkol dan melindungi maling. Mereka bilang, harus ada efek jera. Dengan dipukuli ramai-ramai. Sampai mati kalau perlu.
"Ok baik. Kita hakimi dia sekarang. disini, dirumah Allah. tapi, saya minta, yang pertama melakukannya, adalah orang yang seumur hidupnya tidak pernah melakukan kesalahan!" tangisku pecah mengucapkan itu.
Aku berhasil menggandeng anak itu keluar dari kemununan massa yang beringas. Menuju motor yang ku parkir di apotek yang tengah menukarkan uang kembalian obat batuk, amanah mama.
Ku perhatikan anak itu. Dekil, kurus, bau airmatanya berlinang, bibirnya berdarah dan sorot matanya yang redup menyiratkan bahwa ia lapar. Mata itu, terus menatap pada satu sudut. Seorang ibu memakai daster dan jilbab lusuh yang duduk dibawah pohon dengan gerobaknya, tidak jauh dari kami. Laras -nama anak perempuan itu, mengakui sebagai ibunya.
Aku mengajak laras ke rumah makan tidak jauh dari sana. Ibunya datang tidak lama. Kami makan bertiga, diiringi tatapan pemilik warung, sahabatku. melihat ibu dan anak itu lahap, sanggup membuatku menutup rapat lisan ini. Untuk tidak bertanya, sabagaimanapun ingin hati melakukannya.
"Laras... Ibu..." Kataku, tenggorokanku terasa tercekik.
"Klo masalahnya cuma lapar, Laras dan Ibu bisa datang ke sini. makan disini sekenyang-kenyangnya. tidak perlu bayar" sambungku setelah mengatur nafas.
Kemudian ibunya bertutur bahwa dia janda. suaminya jatuh dari atap sewaktu menjadi kuli bangunan. sebetulnya Laras punya adik, yang lahir tidak lama setelah bapaknya wafat. tapi bayi itu dia serahkan ke tukang kopi di kampungnya. Sehari-hari, mereka tinggal di gerobak. Mereka memulung untuk dapat bertahan hidup. musim hujan ini, tidak banyak yang bisa dijual. karena basah. hasil memulung dihargai tidak sampai dua ribu rupiah perkilo. Laras tidak sekolah.
Sakit ku mendengarnya... Aku pernah berada pada posisi Laras. Ibuku nembesarkan dan mengantarkan ketiga anak perempuannya menjadi "orang", Sendiri.
Sejatinya, poligami menitik beratkan pada perlindungan terhadap yatim piatu dan janda yang butuh perlindungan. Bukan nafsu semata.
Bekasi, dipenghujung tahun, pada suatu pagi yang teduh.
Posting Komentar untuk "Dihamiki massa"